Resensi

Di Afganistan, Dendam Dipelihara

Oleh: Diko Ahmad Riza Primadi

Pagi itu, saya memulai perjalanan dari Stasiun Lempuyangan Kota Yogyakarta. Menuju Kota Blitar untuk menengok kampung halaman. Sehari sebelum keberangkatan, saya sudah menyiapkan sebuah buku yang rencananya akan saya habiskan dalam perjalanan yang menyita waktu hampir enam jam. Buku yang saya bawa, Afganistan, Negeri yang Koyak oleh Perang. Buku ini berisi reportase majalah Tempo terkait konflik di Afganistan yang berlangsung sejak invasi Uni Soviet (1979-1992) hingga kejatuhan Kabul di tangan Taliban pada 2021.

Buku setebal 270 halaman tersebut menyuguhkan fakta menarik bahwa perang tak pernah baik ditinjau dari aspek manapun. Perang membuat sungai penderitaan dan kepedihan terus mengalir di Afganistan. DNA perang sejatinya sudah tertanam di dalam jiwa masyarakat Afganistan sejak ribuan tahun silam ketika suku-suku di sana saling berperang untuk menghidupi diri mereka masing-masing.

Bukan hanya itu, yang lebih mengkhawatirkan, di Afganistan, dendam terus dipelihara dan diwariskan kepada mereka yang lebih muda. Perang telah mengubah watak masyarakat Afganistan, yang apa saja mesti diselesaikan dengan senjata. Hal ini secara langsung menyeret generasi muda Afganistan untuk mencintai perang dan pertikaian. Anak-anak Afganistan telah termakan doktrin heroisme palsu, dengan menenteng senjata dan bertempur di medan perang, hal tersebut dapat membuat mereka terlihat keren dan gagah.

Selain alasan heroisme, konflik di Afganistan menciptakan lingkaran setan bagi anak-anak yang tak lagi memiliki pilihan selain berperang. Dengan menjadi tentara, membuka sarana bagi generasi baru Afganistan untuk mengatasi kemiskinan yang melilit hidup mereka. Maklum, Afganistan adalah negeri amat melarat. Penghasilan per tahun (GDP) negara ini pada 2001 hanya US$ 800 (sekitar Rp 8 juta pada kurs Rp 10.000). Tak mengherankan jika anak-anak memilih jadi tentara. Mereka bisa makan dan mendapat rokok gratis.

Itu baru satu dari banyak permasalahan yang menghimpit Afganistan. Kehadiran Soviet dan AS di Afganistan semakin memperkeruh suasana. Pada 1979, kelihatan bahwa Negeri Beruang Merah mempunyai kepentingan dalam menempatkan pasukan dan pesawat tempurnya di kawasan ini, karena makin meningkatnya kehadiran AS di sekitar kawasan Timur Tengah. Politik adu domba yang dilancarkan AS maupun Rusia pun sering menghiasi pertumpahan darah antara anak negerinya sendiri.

Tentu pihak yang paling menderita dari pertikaian ini adalah perempuan dan anak-anak Afganistan. Kaum wanita menjadi pihak yang paling menderita baik oleh perang maupun oleh ideologi radikal yang diberlakukan rezim Taliban. Meminjam Zieba Shorish-Sahmley, seorang dokter perempuan Afganistan menulis sebuah puisi: Aku masih ingat kalian ../ yang tanpa pilihan, tanpa suara, tanpa hak, tanpa kehadiran/ tak lagi punya tawa, kemerdekaan, perlawanan/ hanya kepedihan, kerinduan, kebisuan, kesepian.

Di chapter terakhir, sekembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan tertinggi Afganistan pertengahan Agustus 2021, setelah selama 20 tahun berpuasa dari kekuasaan. Kini Afganistan dihadapkan kembali dengan ketidakpastian. Kembalinya Taliban dikhawatirkan akan kembali membawa luka terperih dalam sejarah Afganistan. Mereka ditakutkan akan kembali menerapkan syariat Islam secara kaku meski sejak awal Taliban mengatakan akan berubah lebih menghargai hak asasi manusia.

Afganistan hari ini bisa dibilang sebagai surga yang hilang. Dibumihanguskan oleh perang berkepanjangan dan kembali dikekang oleh perspektif Islam yang tekstual. Negeri yang terhampar di jalur legendaris antara Laut Tengah dan anak benua India, negeri dan kebudayaan yang bernaung di balik pegunungan Hindu Kust. Lelap dan damai selama berabad-abad yang kini bagai terlupakan oleh sang waktu.

Matahari di luar gerbong kereta pun sedang terik-teriknya. Seperti membakar perang yang berkecamuk di dalam hati dan pikiran. Nasib rakyat Afganistan masih berada dalam bayang-bayang ancaman perang saudara yang sewaktu-waktu bisa kembali meletus. Dan lagi-lagi yang pasti akan menjadi korban adalah mereka yang lemah dan jauh dari selimut kekuasaan.

Judul: Afganistan, Negeri yang Koyak oleh Perang
Editor: Qaris Tajudin
Ukuran: 160 x 230 mm
Tebal: x + 270 hlm
Cetakan: Pertama, Januari 2021
Penerbit: Tempo Publishing

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *