Oleh: Diko Ahmad Riza Primadi/Jurnalis dan Alumnus Magister Pendidikan Matematika UAD
Kehadiran google sebagai mesin pencari informasi nomor wahid sejatinya telah mendistrupsi peran perguruan tinggi. Peran universitas yang salah satunya tertuang dalam Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 2021 lambat laun diambil alih oleh Google dan AI. Hal ini terjadi lantaran AI dapat memberikan life service yang memanjakan siapa saja. Dengan hanya sekali pencet, google sebagai mesin pencari nomor satu akan menyajikan beragam data dan informasi yang kita butuhkan.
Tidak heran jika anak-anak sekarang lebih banyak mengakses google untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan mereka. Dan pergi ke sekolah/perguruan tinggi sebatas untuk memenuhi tuntutan formalitas semata.
Untuk menguasai suatu keahlian, manusia modern yang terbuka mindset-nya akan berpendapat bahwa cara belajar telah berubah. Tidak harus berada di dalam kelas atau ruangan dengan waktu-waktu yang telah ditentukan. Dengan beragam capaian teknologi hari ini memungkinkan belajar bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun. Di cafe, taman bermain, alam terbuka, kebun, atau di hutan pun setiap orang masih tetap bisa belajar selama sinyal intenet masih terjangkau oleh alat komunikasi mereka. Ruang dan waktu seolah menjadi sangat fleksibel.
Dalam suasana perkuliahan pun tak jarang para dosen berpesan kepada para mahasiswanya untuk aktif di luar dunia perkuliahan. Mendorong mereka mencari sebanyak-banyaknya pengalaman. Dosen semacam ini sejatinya menyadari bahwa apa yang dipelajari di ruang perkulihan belum cukup sebagai bekal untuk menghadapi badai disrupsi yang dihembuskan oleh perangkat lunak teknologi. Banyak hal yang perlu disibak dan dipelajari, dan dunia perkuliahan belum mengakomodir itu semua.
Melihat fenomena tersebut, disrupsi yang disebabkan teknologi akan terus berlangsung. Belum selesai dengan mendisrupsi sebuah lembaga seperti sekolah dan perguruan tinggi. Ternyata teknologi juga mendisrupsi dirinya sendiri (terhadap teknologi yang sudah tidak relevan). Hal ini dipicu oleh persaingan dari perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang pengembangan teknologi. Perusahaan-perusahaan besar tersebut terus berlomba menciptakan teknologi terbarukan berbasis artifisial intelijen (AI) untuk menarik minat pasar yang sangat besar.
Nasib perguruan tinggi
Perguruan Tinggi di Indonesia mesti segera berbenah agar tetap relevan melewati tantangan sosial, agama, budaya, politik, geopolitik, hingga masalah kemanusiaan yang terus berkembang, seiring dengan semakin majunya teknologi melalui pengembangan artifisial intelijen (AI). Dan Google telah mendorong perubahan itu dengan cukup meyakinkan. Dengan jumlah pengguna sebesar 5,3 miliar orang pada tahun 2022, Google menjadi raksasa yang menguasai pasar. Jika tidak segera menyesuaikan diri, dunia pendidikan kita akan tertinggal dan tidak lagi diminati oleh calon mahasiswa.
Fenomena semacam ini akan membuat mereka (calon mahasiswa) semakin realistis seiring dengan biaya pendidikan yang kian mahal. Mereka bisa jadi lebih memilih memanfaatkan aplikasi teknologi untuk mempelajari sesuatu yang diinginkan dari pada masuk perguruan tinggi.
Belum selesai dengan Google yang telah mendisposisi hampir seluruh peran dari lembaga pemerintahan tak terkecuali lembaga pendidikan, baru-baru ini muncul penemuan yang lebih mencengangkan, yakni ChatGPT. Sebuah aplikasi perangkat lunak berupa model bahasa generatif yang menggunakan teknologi transformer untuk memprediksi probabilitas kalimat atau kata dalam suatu percakapan ataupun perintah teks. Ia mampu membuat program dan algoritma sendiri sehingga mampu membuat gim sendiri. Aplikasi ini diprediksikan akan menggantikan google yang dianggap kurang bisa bersaing di tengah laju pesat perkembangan teknologi.
Tidak hanya membuat ragu calon mahasiswa yang ingin mendaftar perguruan tinggi, antara lanjut kuliah atau langsung kerja. hal paling memungkinkan dengan hadirnya teknologi termutakhir adalah berkurangnya tugas dosen pembimbing tugas akhir mahasiswa. Satryo Soemantri Brodjonegoro dalam artikelnya di Kompas (10/2/2023) mengungkapkan bahwa dengan ChatGPT, mahasiswa bisa menyusun sendiri skripsi, tesis, dan disertasinya.
Pernyataan ini muncul bukan tanpa alasan. Elon Musk sebagai inovator genius dunia mengatakan bahwa ChatGPT berhasil lulus ujian lisensi kedokteran yang tersulit berdasarkan standar AS.
Jangankan membuat tugas akhir mahasiswa, ChatGPT dengan miliaran parameternya juga mampu membuat novel setebal 1000 halaman dengan gaya bahasa yang mengagumkan.
Kalau pendidikan kita terus begini-begini saja, lantas bagaimana dengan nasib perguruan tinggi dan sekolah kita di masa depan. Universitas bisa tidak laku.
Sehingga perlu ada perubahan secara radikal, tidak sebatas berhenti pada semboyan merdeka belajar dan siapa menterinya, dari Muhammadiyah atau bukan. Tapi perlu sinergi dan kolaborasi dari semua pihak tanpa terkecuali.
Para pemangku kebijakan dan seluruh manusia yang terlibat didalamnya perlu mengambil tindakan yang tidak setengah-setengah. Tidak mencari aman dibalik kursi empuk jabatan.
Pejabat, menteri pendidikan, guru, orang tua, pak polisi, pak RT, pak Lurah, Danramil, ibu-ibu PKK dan lain sebagainya harus bergerak melakukan berbagai macam terobosan. Dengan nawaitu bersama-sama memajukan peradaban bangsa yang tersungkur di titik nadir. Meminjam semboyan yang pernah di teriakkan Bung Tomo di pertempuran 10 November di Surabaya, Rawe-rawe rantas malang-malang putung – segala sesuatu yang merintangi maksud dan tujuan harus disingkirkan, termasuk merintangi maksud dan tujuan mulia pendidikan, yakni mencetak manusia beradab dan berdaya saing global.